Friday 19 February 2016

Travelling Hamil 7 Bulan


Tidak menyangka semua tepat pada waktunya, aku yakin ini adalah kemudahan dari Sang Khalik. Doaku Alhamdulillah selalu dikabulkanNya. Di saat semua berlibur ke kampung halaman masing-masing, aku yang dalam kondisi hamil 7 bulan, tidak berani mengambil langkah untuk berlibur dan bersenang-senang dengan perjalanan yang jauh. Tapi situasi dan keadaannya berbeda. Beberapa hari setelah mertuaku ke kampung halaman bersama adik ipar dalam rangka nikahan sepupunya suamiku, di saat rumah sepi, aku diberitahu oleh junior bahwa transkrip nilai sudah bisa diambil di kampus UI Salemba.

Pas banget momentnya, aku segera cek harga tiket dan tiket murah di minggu-minggu ini. Minggu-minggu liburan di saat orang pulang kampung, aku malah memilih perjalanan ke kota, tentunya harga tiket lebih murah dari biasanya. Aku merancang perjalananku ke Jakarta dari Pekanbaru di dalam otak. Sepulangnya suami, setelah beliau isitirahat sejenak, baru aku ajak diskusi, minta izin agar aku bisa ke Jakarta Minggu 27 Desember 2015.

Awalnya suami ragu dan sangat bingung. Beliau terlihat sangat khawatir, bingung dan takut untuk melepasku. Aku melarang beliau untuk ikut, karena perjalanan menjemput ijazah dalam bayanganku akan sangat menguras tenaga, berkeliling-keliling di kampus. Belum lagi sistem administrasi kampus yang kadang bertele-tele, takut kalau bawa beliau akan tidak sabaran dan urusan jadi semakin lama.. hehe.. Dan pemikiran selanjutnya adalah, jika suami tidak ikut, uangnya bisa dihemat untuk keperluan lahiran nanti.

Alhamdulillah hasil bujukanku mempan walau sebenarnya aku juga sempat tidak yakin dengan kondisi tubuhku dan musti berjalan-jalan jauh. Di saat aku belajar meyakinkan diriku sendiri bahwa aku mampu, aku juga berusaha untuk meyakinkan suamiku bahwa aku insyaAllah aman berpergian jauh sendirian. Dilema memang sebenarnya. 2 hari sebelum keberangkatan, kita sibuk dengan pemikiran masing-masing. Semua perasaan campur aduk. Ada terselip rasa sedih juga di saana… Ah melankolis sekali cerita ini… hahaha…

SEMANGAT!!!

Sebelum berangkat, aku sempat cari tahu, searching, googling, tips perjalanan ibu hamil dengan pesawat. Dan ternyata semua maskapai akan meminta surat keterangan dokter jika usia kehamilan sudah melibihi 28 minggu. Dan akhirnya aku jadwalkan untuk cek kehamilan sekalian minta surat keterangan ke klinik sebelum  berangkat ke Jakarta.

Alhamdulillah si janin sehat wal’afiat. Tidak ada sesuatu yang musti dikhawatirkan. Bidan pun terlihat ‘wah’ dengan pergerakan janinku yang sangat aktif dan tendangannya yang kuat sekali. Selesai cek, surat keteranganpun   di tangan.

Detik-detik sebelum keberangkatan pun kekhawatiran sebenarnya tak henti-hentinya. Suasana hati menjadi tidak karuan dan doa terus terucap dalam hati. Begituppun suamiku. H-1 sebelum keberangkatan pun, beliau terlihat tidak seperti biasanya, ada kegundahan yang luar biasa di sana. Aku coba kuatkan dan yakinkan suamiku, aku coba kuatkan dan yakinkan diriku dan aku ajarkan untuk selalu kuat, sehat dan ‘jangan lahir mendadak’ dulu kepada janinku yang selalu bersemangat menendang-nendang perutku. Aku rutinkan berbicara pada si janin. Aku yakin, janinku mendengarnya… How nice!!! ^_^ ^_^

Bismillah, tanggal keberangkatan pun datang. Suamiku sengaja tidak bekerja hari itu supaya bisa mengantarku ke bandara. Pagi-pagi aku bereskan rumah, mencuci, memasak dan packing beberapa pakaian. Rencananya cuma 2 hari di Jakarta jika semua urusan lancar. Setelah mondar-mandir di dapur, aku sempatkan beristirahat sejenak. Tidur pulas agar tidak terlalu capek dalam perjalanan nantinya. Menunggu zuhur, aku sempatkan menemaniku suamiku yang langsung menyantap makanan yang baru saja aku masak. Berusaha seceria mungkin, sesenang mungkin. Selesai zuhur, mandi, beres-beres dan berangkat beli oleh-oleh untuk si bapak kosan yang sudah aku booking kamarnya selama aku di Jakarta.

Sesampainya di bandara, aku langsung check in. Di counter check in, aku langsung mengaku kalau aku sedang hamil dan memberikan surat keterangan dokter. Si petugas melihat suratku, katanya pihak Lion Air Cuma menerima surat keterangan dokter yang masa berlakunya cuma 3 hari. Kebetulan surat keteranganku, sudah 4 hari. Si petugas menyuruhku ke ruangan medis di bandara Sultan Syarif Kasim II. Aku mengikuti saja apa yang dikatakan petugas, aku berjalan perlahan ke ruangan kesehatan yang ternyata… TUTUP!!! Di pintunya tertulis “Petugas sedang shalat”. Ya, aku check in di waktu ashar. Aku tunggu 1 menit, 2 menit, dan kemudian aku mondar-mandir di depan ruangan tersebut, kemudian aku kembali keluar menuju suamiku. Kertas boarding sudah di tangan, petugas istirahat, aku tidak di kawal ke ruang kesehatan, akhirnya suamiku menyarankan, langsung saja ke ruang tunggu, tidak usah cek kesehatan lagi. Agak ragu juga untuk cek kesehatan lagi di bandara, karena aku pernah membaca salah satu pengalaman ibu hamil, bahwa dia dipersulit untuk terbang dengan pesawat dalam keadaan kondisi hamil oleh tim medis bandara yang tidak berkompeten di bidang kehamilan.

Pamit pada suami, dan aku langkahkan kaki langsung menuju ruang tunggu. Shalat ashar dengan santai, isi perut dengan sepotong roti agar ga terlalu lapar dan tak terlalu kenyang (biasanya aku kalau sedang lapar, langsung mual, lemes dan kalau kekenyangan,  perut berasa begah dan tegang sekali) dan menunggu pesawat dengan sedikit “dag dig dug jer”. Kekhawatiranku adalah, ketika nanti aku dipertanyakan soal kehamilanku, kemudian penerbangan menjadi delay gegara aku yang tidak mengurus surat keterangan di ruang medis bandara dan pikiran-pikiran negatif lainnya yang mungkin saja terjadi. 

Ternyata oh ternyata, setelah naik ke pesawat, aku hanya ditanya oleh pramugari, “Ibu sedang hamil? Sudah berapa bulan? Anak pertama ya bu?”. Pertanyaan ringkas, tapi aku dengan mantap walau dalam hati sempat risau untuk menjawab jujur. Aku jawab, “ Ya, sedang hamil 6 bulan dan anak pertama”. 6 bulan? Apa? Hm.. dalam hati, aku kan tidak bohong, 6 bulan kan meaningnya bisa banyak. 6 bulan 4 minggu (yang artinya sama saja dengan 7 bulan), mungkin juga 6 bulan 10 minggu. Hehe. Aku tidak berbohong, hanya sedikit bermain kata. Karena aku juga sempat baca, bahwa kehamilan 7 bulan sangat rentan untuk lahir prematur, dan juga pernah baca ada ibu hamil yang tidak diizinkan ikut terbang karena pihak maskapai tidak mau mengambil resiko jikalau nanti terjadi apa-apa terhadap ibu hamil tersebut. Kemudian, petugas lainnya, datang membawa surat, dan aku di suruh menanda tangani surat tersebut. Aku tidak tahu persis apa isi suratnya, tapi sepertinya itu adalah surat keterangan bahwa mereka tidak mau bertanggung jawab terhadap kehamilanku jika terjadi sesuatu nantinya dalam penerbangan. Aku tidak diberi salinan suratnya oleh pihak Lion Air.

Penerbangan pun berjalan dengan lancar dan aman, walau setiap kali naik LION AIR selalu “gruduk-gruduk” di perjalanan. Ketika take off, janinku bergerak-gerak aktif sekali. Bergelombang ke sana kemari, tendang sana sini, aku elus-elus pun tak mau tenang. Aku semakin deg-deg an. Aku coba tenangkan diriku, dan aku terus membelai lembut janinku sambil berkata dalam hati “ tenang nak.. ummi di sini nak.. tenang.. yang kuat.. yang kuat.. jangan lahir dulu.. yang kuat.. yang sehat ya nak”.. Berkali-kali aku tarik nafas yang dalam agar aku tenang. Biasanya, si janin mengikuti alur ibunya, jika si ibu lelah, janin akan lelah juga, jika ibu kuat, janin juga kuat dan aku menyimpulkan jika si ibu panik, si janin juga ikutan panik. So, tarik nafas berkali-kali, elus-elus perut, berdoa, menenangkan diri sendiri dan sang janin. BERES!!! Take off pun berjalan baik.

Di dalam pesawat, si janin entah memang terlalu bersemangat atau panic, aku tidak tahu, tapi hebooooh banget, aku susah mengendalikan diri sendiri. Mencoba untuk tidur, tapi penumpang di sebelahku, berbicara terus, ribut sekali. Aku tidak bisa istirahat. Tenang… tenang… tenang… minum sedikit air putih cukup membantuku untuk tenang, tapi aku takut kebelet pipis. Ah rempong.  hahaha.. kepanikan yang luar biasa untuk ditenangkan by myself.

Saat-saat landing pun aku panik lagi. Si janin juga belum berhenti bergerak. Plus pesawat yang tidak tenang. Bunyi mesin, bunyi suara-suara penumpang lain yang sibuk dengan obrolan mereka, bunyi “gruduk-gruduk” kayak lagi jalan di jalan bebatuan. Landing di Jakarta membuatku panik luar biasa, tapi akhirnya aku putuskan untuk pegang lembut perut dengan tangan sebelah kiri, dan tangan sebelah kanan memegang kursi di depan agar tidak terlalu goncang. Ga enaknya naik pesawat Lion Air itu begitu deh,  “gruduk-gruduk” nya ga ilang-ilang… Tapi sayangnya cuma itu pesawat yang murah. Weleh-weleh.

Alhamdulillah perjalanan menuju Jakarta selamat, tapi perjuangan belum berakhir. Aku harus menaiki beberapa transportasi lagi. Damri menuju Gambir dan naik taksi menuju kosan. Setibanya dikosan, aku sudah berasa sangat kelelahan. Hujan pun terpaksa aku tempuh daripada mengembangkan payung, dan harus petantang petenteng pegang payung dan barang bawaan secara bersamaan. Saking lelahnya, aku cukup menyapa bapak kosan dan sedikit basa-basi saja. Alhamdulillah lagi, kamarnya nyaman. Seperti kamar hotel, ada TV, AC, kamar mandi di dalam, lemari dan sebuah rak. Kemudian juga ada fasilitass galon serta kulkas. Dan sepertinya wifinya juga bisa digunakan. Akan tetapi aku tidak begitu tertarik untuk menggunakan wifinya, karena badan sudah lelah. Kuputuskan untuk segera shalat dan makan sepotong roti dan sebatang coklat, minum air. Dan.. Zzzzzz.. tidur. Istirahat.

Hari berikutnya, aku sudah mengatur janji sebelumnya dengan juniorku untuk transaksi “surat keterangan dari jurusan sebagai syarat untuk mengambil ijazah. Jam 9 di lobi FKUI. Setelah shalat subuh aku dirundung oleh rasa lapar yang tak tertahankan. Kuputuskan untuk keluar kosan di pagi buta sekalian beli perlengkapan MCK. Aku kira minimarket di gang kosan buka 24 jam, ternyata tidak, jadilah aku berjalan jauh ke dekat jalan raya Salemba. Alfamart di belakang sevel. Dalam perjalanan tidak kutemukan sama sekali yang jual makanan, jadi aku berniat untuk membeli stok yang agak banyak buat sarapan pagi itu. Menjadi seorang ibu dan bahkan menjadi seorang istri itu bisa merubah seseorang yang pemalas menjadi rajin. Dulu sewaktu gadis, selapar apapun, kalau sedang tidak mood, aku malas sekali untuk keluar kosan atau berusaha untuk mendapatkan makanan. Dan sekarang, demi calon anakku, aku bela-belain jalan pagi dengan jarak yang lumayan tidak dekat dari kosan untuk memenuhi gizi anakku kelak. Sepulang dari minimarket, ternyata ada beberapa penjual makanan di tepi jalan yang sudah buka. Ada yang jual bubur ayam dan ada yang jual nasi uduk. Aku tidak begitu menyukai bubur ayam, akhirnya aku ikut mengantri di tempat penjual nasi uduk. Lumayan banyak yang mengantri nasi uduk, si penjual nasi uduk sampai kewalahan melayani setiap pembeli yang sudah mengantri kelaparan. Sambil menunggu antrian, aku melihat-lihat makanan yang tersedia, tahu, tempe, telur bulat, telur dadar, mi goreng. Kalap, ketika tiba giliranku memesan, aku memesan begitu banyak. Telur bulat, tahu dan tempe. Hihihi…

Sesampai dikosan, aku sarapan dengan begitu lahapnya ditemani oleh suara sang suami nun jauh di sana. Selesai sarapan, beres-beres berangkat ke kampus. Agak grogi juga ketika melangkahkan kaki ke kampus. Terbayang, jika nanti bertemu dengan orang yang kukenal, kemudian melihat perubahan perutku, hihi antara senang dan canggung dengan perut buncit ini. Setiap langkah aku nikmati perlahan, karena aku butuh tenaga yang banyak hari itu. Sesampai di kampus, ketemu dengan junior, sedikit obrolan dan mulailah petualanganku.

Aku menuju lantai 5 gedung IHVCB, sesampai di sana, aku tidak langsung menemukan apa yang aku cari, aku sempat berputar mencari petugas yang bertanggung jawab atas ijazah Mahasiswa S2. Ketika bertemu dengan si petugas yang lumayan ramah, eng ing eng, ada satu syarat yang tidak aku tahu sebelumnya. Mereka membutuhkan foto untuk ditempel di ijazahku. Ukuran foto pun di luar biasanya, 4x4. Tapi jika diminta dalam ukuran 2x3 atau 3x4 atau 4x6 pun, aku sebenarnya tidak mempunyai stok foto. Hahay. Akhirnya aku izin cetak foto dulu. Sempat gundah juga ketika otak di saat hamil mudah lupaan, aku lupa menaruh softcopy fotoku. Aku obok2 harddisk, email dan handphone. Akhirnya aku bisa menemukannya di laptop. Sempat panik ketika kabel harddisk tidak bersahabat membuat hardisk susah detect di laptop, internet yang lemot dan di handphone pun aku tidak temukan satu softcopy foto close up pun. Ternyata ga jauh-jauh nyimpennya, foto itu ada di laptop. Ckckck.

Mencari tempat cetak foto ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan. Saat ini semua sudah bisa dilakukan dengan modal komputer dan printer. Di rental pertama, “ga bisa mbak, di sebelah bisa”. Di rental kedua, “Ga bisa dek, printernya rusak”. Di rental ketiga, “Ga bisa mbak, printernya lagi bermasalah”. Galau… Yang aku tahu yang bisa cetak foto di area kampus Salemba cuma tiga tempat itu. Aku duduk sejenak, minum air. Aku berusaha serileks mungkin, agar janinku juga tetap tenang. Akhirnya aku putuskan untuk keluar kampus. Aku ingat saat dikosan lama, diperjalanan menuju kampus ada satu tempat untuk cetak foto. Kutelusuri jalanan yang tidak terlalu dekat. Mendaki tanggga shelter transjakarta lagi. Cukup ngos-ngosan bolak-balik naik tangga dalam keadaan hamil begini. Dalam perjalanan, aku melihat sekitar, banyak perubahan. Karena saking terkesannya dengan beberapa perubahan tersebut, aku sampai lupa dimana letak cetak fotonya, dan akhirnya bingung sendiri lagi. Aku putuskan untuk cetak foto di warnet, siapa tahu bisa. Si penjaga warnet bilang “ga bisa dek, di sebelah ada tempat cetak foto, ke sebelah aja”. Ternyata eh ternyata, tempat cetak foto yang semula aku cari letaknya persis di sebelah warnet. Beuh.

Penguluran waktu tidak hanya sampai di sana. Di tempat cetak foto, ternnyata si petugas meminta bluetooth foto ke komputernya, dia tidak menerima pengiriman lewat USB. Dan pengiriman file foto sempat membuat bingung, karena berkali-kali mencoba mengirim ke komputernya, file foto tidak juga tampil di layar komputer tersebut. Aku sempat berfikir, kalau seandainya tidak bisa cetak foto di sini, haruskah aku ke Matraman untuk cetak foto saja? Tak kehilangan akal, akhirnya si petugas mengusulkan untuk mengirim file foto ke handphone pribadinya, dan kemudian mencoba transfer foto dari handphonenya ke komputer. Dan semua selesai. Foto dicetak dengan bagus, tapi untuk stok aku coba bertanya ke petugasnya apakah bisa cetak foto hitam putih, dan ternyata katanya tintanya bermasalah jika cetak hitam putih.

Dengan santai aku sudahi transaksi cetak foto, dan aku beranjak perlahan menuju kampus kembali. Dari pasar paseban ke kampus, jaraknya lumayan melelahkan untuk seorang ibu hamil yang harus menjaga sangat hagi-hati kandungannya. Aku putuskan untuk menyeberang di traffic light saja daripada harus menaiki tanggga penyeberangan shelter transjakarta UI Salemba. Sesampai di kampus, kembali lagi menaiki lift ke lantai 5, menemui sang petugas ijazah. Taraaaaa… ketika beliau menerima fotoku yang berwarna, beliau agak terkejut. “Fotonya tidak hitam putih? Takutnya nanti dalam jangka kurun waktu yang lama, foto ini akan luntur warnanya dan menjadi jelek”. Aku pasrah “Nggak apa-apa bu, pakai foto itu saja, cape nyari tempat cuci foto ke bawah lagi, pada rusak printernya”. Selesai. Kemudian fotocopy ijazah dan ambil transkrip nilai di lantai 5 pada gedung lainnya. Naik turun naik turun. Untungnya pakai lift. Ga kebayang kalau harus naik turun tangga.

Hari masih menunjukkan jam 11. Perjalanan panjangku kujalani dengan santai tapi pasti. Masih banyak waktu yang tersisa. Aku putuskan untuk berangkat ke Depok untuk legalisir ijazah dan transkrip. Agar perjaalnan terasa nyaman, aku memilih naik taksi ke manggarai. Sesampai di manggarai, langsung menuju jalur 6 untuk menunggu kereta menuju Pondok cina. Untungnya aku masih punya kartu commuter line, jadi tidak perlu mengantri untuk beli tiket kereta. Tubuh memang tidak terasa terlalu lelah. Jadi, tidak bermaksud berharap dapat tempat duduk selama perjalanan. Dan sepertinya semua orang juga tidak begitu ‘ngeh’ kalau aku sedang hamil. Perutku yang tidak terlalu besar, keadaan manusia yang lelah dan berharap tempat duduk, aku biarkan saja. Aku menikmati perjalanan dengan berdiri di dekat pintu masuk kereta. Aku menghadap ke pintu agar perutku terlindungi dari senggolan-senggolan mendadak dari penumpang. Biasanya penumpang kereta suka grasak grusuk ga jelas.

Cukup lelah juga kaki menopang tubuh yang mulai berat. Dari manggarai sampai pondok cina, aku berdiri dan selalu berusaha tenang. Setibanya di pondok cina, aku masih harus berjalan kaki menuju gedung rektorat. Dan sempat salah masuk gedung. Gedung Pelayanan Mahasiswa Terpadu, terletak di samping gedung rektorat. Tepat saat aku sampai di loket pengurusan legalisir, label ‘istirahat’ di pasang oleh pegawai di sana. Tidak begitu kecewa juga sih, karena aku ingin perjalanan yang santai saja. Jika tak selesai hari ini, masih ada hari esok. Aku lepaskan lelah dengan duduk di bangku sofa yang lumayan empuk. Leganyaaaa, sambil santai-santai aku ditemani oleh suara sang suami nun jauh di sana. Rindu? Iya.. aku sempat merindukan beliau walau baru beberapa hari berpisah. Hahay.

Istirahat pegawai tidak begitu lama. Waktu berlalu seolah menyelamatkanku dari rasa panik, bosan atau perasaan tidak nyaman lainnya. Dan pengurusan legalisir pun lancar jaya tidak ada kerumitan sama sekali. Aku minta tolong kepada pegawai di sana untuk mengirimkan hasil legalisir ijazah dan transkrip nilaiku ke Pekanbaru. Mereka bersedia dan semua beres. Alhamdulillah, semua tujuanku datang ke Jakarta dalam keadaan hamil tercapai sudah. Selama menunggu pegawai istirahat, aku sempat searching tiket pulang, dan meminta pendapat suami. Jika semua sudah selesai hari ini, besok aku langsung pulang lagi ke Pekanbaru. Tiket pun sudah dibeli. Sekarang saatnya aku memanjakan jiwa dan raga. Aku kembali berjalan kaki dari gedung tersebut menuju Mesjid UI, shalat zuhur dan untungnya di sebelah masjid ada kafe, selesai shalat aku langsung saja memesan makan siang.

Kalau diingat-ingat perjalananku ribet ya? Bolak balik sana sini, tapi yang aku rasakan semua seolah bekerja sama untuk mudah aku lakukan, aku tidak merasa begitu sulit dan rempong dalam mengurus semuanya. Semua berasa dimudahkan oleh Sang Khalik. Dan sikap tetap tenang ternyata juga dapat membantu melancarkan semua proses perjalanan hari itu. Alhamdulillah.

Kembali ke kosan dengan santai, Alhamdulillah lagi di commuter line aku mendapatkan tempat duduk  sampai manggarai. Dari manggarai ke kosan, aku naik bajaj, karena jarang sekali terlihat taksi. Sempat was-was binti khawatir ketika naik bajaj saat itu. Jalan menuju kosan banyak tanggulnya dan ketika bajaj berusaha melewati tanggul tersebut, aku harus memegang perut dan menahan badan agar tidak begitu terhenyak karena bajaj yang terguncang.

Penantian waktu hingga esok hari terasa begitu lama. Aku mengambil tiket pulang penerbangan jam setengah 7 malam kalau tidak salah. Siang aku check out dari kosan, Singgah ke kampus sebentar (masih melewati jembatan penyeberangan shelter transjakarta) untuk membayar biaya legalisir, balik lagi naik jembatan penyeberangan, kemudian makan mie ayam favorit di depan kampus dan bungkus bawa pulang buat suami, terakhir naik taksi menuju Gambir. Dari Gambir naik Damri menuju bandara. Sesampai di bandara, check in. Dan perlakuan yang sama aku dapatkan. Mereka dari pihak Sriwijaya Air, tidak menerima surat keterangan ‘save flight’ yang aku punya yang sudah lewat dari tiga hari. Petugas check in meminta rekannya untuk menemaniku periksa ke dokter di bandara. Aku pernah baca sebuah artikel, bahwa ibu hamil itu gampang lupaan. Benar saja, setelah check in, aku melupakan handphone ku yang aku gunakan untuk memperlihatkan bukti pembelian tiketku. Untung saja petugasnya baik, kalau tidak, aku bakal panik kehilangan handphone. Hehe.

Di bagian pemeriksaan kesehatan, aku hanya ditanya usia kehamilan, cek tensi darah dan dikenakan biaya administrasi senilai Rp 50.000,-. Selesai. Penantian berasa semakin lama karena aku datang sangat awal dan penerbanganku delay. Aku sempatkan shalat magribh di ruang tunggu. Membosankan penantian di bandara. Tidak bisa tidur, bisanya juga cuma ngemil doing, tapi di dalam penantianku, aku menemukan sesosok manusia yang sempat menjadi rekan kerjaku di Bukittinggi. Tak bisa bertegur sapa, karena jaraknya begitu jauh. Kangen juga kumpul-kumpul dan bercanda dengan mereka-mereka yang unik dan bersemangat. PQK Bukittinggi yang menyatukan kita. J

Sesampainya di Pekanbaru, aku menunggu barang bawaan bagasiku, sementara sang suami sudah menungguku di luar ruangan. Ah rindunya. Berasa ingin kupeluk sosok yang ‘besar’ itu. Hoho. Sang suami tahu kalau aku belum makan malam, beliau pun mengajakku makan di sebuah rumah makan. Tapi, lauknya sudah hampir habis semua. Jadilah kita cuma makan dengan gulai telur bulat.. hehe.. Alhamdulillah tetap nikmat, karena aku ditemani oleh si pujaan hati.

Perjalanan yang tidak terduga akan sukses jaya seperti itu, Alhamdulillah selamat pulang pergi. Si janin pun sangat bersahabat sekali ketika di ajak ‘anteng’ dalam setiap perjalanan jauh. Allahu Akbar. Semua pasti atas kehendakNya. Semua berjalan lancar hanya atas izinNya.. Terima Kasih Yaa Rabb… ^_^ ^_^



*Akhirnya selesai juga tulisan ini setelah sekian lama menjadi draft di laptop. :p

Wednesday 10 February 2016

Kematian

Hari ini iseng buka blog. Ada tulisan baru muncul di list teman yang saya ikuti. Membahasakan seperti telah kehilang seorang istri. Aku jadi teringat beberapa teman yang meninggal dunia, meninggalkan suaminya dalam keadaan 2 hari setelah menikah, meninggalkan istri dalam keadaan hamil 4 bulan, meninggalkan suami setelah keguguran anak pertama. Dan hari ini sepertinya teman blogku telah kehilangan istri yang sangat dicintainya.

Kematian... beberapa hari yang lewat, aku juga mendengar kabar buruk ini bertubi-tubi dari orang kampung. Banyak sekali yang meninggal dunia dalam minggu ini. 

Kematian... Tidak ada yang dapat duga dan sangka, siapa yang akan pergi duluan, bagaimana cara mendapatkan kematian tersebut dan siapa yang akan ditinggalkan. Orang yang sakit parah pun, belum bisa dijamin akan lebih cepat meninggal dunia daripada orang yang sehat. Bahkan ada yang sehat, dan tiba-tiba jatuh di kamar mandi, kemudian langsung menghembuskan nafas terakhir. 

Kematian...