Tidak menyangka semua tepat pada
waktunya, aku yakin ini adalah kemudahan dari Sang Khalik. Doaku Alhamdulillah
selalu dikabulkanNya. Di saat semua berlibur ke kampung halaman masing-masing,
aku yang dalam kondisi hamil 7 bulan, tidak berani mengambil langkah untuk
berlibur dan bersenang-senang dengan perjalanan yang jauh. Tapi situasi dan
keadaannya berbeda. Beberapa hari setelah mertuaku ke kampung halaman bersama
adik ipar dalam rangka nikahan sepupunya suamiku, di saat rumah sepi, aku
diberitahu oleh junior bahwa transkrip nilai sudah bisa diambil di kampus UI
Salemba.
Pas banget momentnya, aku segera
cek harga tiket dan tiket murah di minggu-minggu ini. Minggu-minggu liburan di
saat orang pulang kampung, aku malah memilih perjalanan ke kota, tentunya harga
tiket lebih murah dari biasanya. Aku merancang perjalananku ke Jakarta dari
Pekanbaru di dalam otak. Sepulangnya suami, setelah beliau isitirahat sejenak,
baru aku ajak diskusi, minta izin agar aku bisa ke Jakarta Minggu 27 Desember
2015.
Awalnya suami ragu dan sangat
bingung. Beliau terlihat sangat khawatir, bingung dan takut untuk melepasku.
Aku melarang beliau untuk ikut, karena perjalanan menjemput ijazah dalam
bayanganku akan sangat menguras tenaga, berkeliling-keliling di kampus. Belum
lagi sistem administrasi kampus yang kadang bertele-tele, takut kalau bawa
beliau akan tidak sabaran dan urusan jadi semakin lama.. hehe.. Dan pemikiran
selanjutnya adalah, jika suami tidak ikut, uangnya bisa dihemat untuk keperluan
lahiran nanti.
Alhamdulillah hasil bujukanku
mempan walau sebenarnya aku juga sempat tidak yakin dengan kondisi tubuhku dan
musti berjalan-jalan jauh. Di saat aku belajar meyakinkan diriku sendiri bahwa
aku mampu, aku juga berusaha untuk meyakinkan suamiku bahwa aku insyaAllah aman
berpergian jauh sendirian. Dilema memang sebenarnya. 2 hari sebelum
keberangkatan, kita sibuk dengan pemikiran masing-masing. Semua perasaan campur
aduk. Ada terselip rasa sedih juga di saana… Ah melankolis sekali cerita ini…
hahaha…
SEMANGAT!!!
Sebelum berangkat, aku sempat
cari tahu, searching, googling, tips perjalanan ibu hamil dengan pesawat. Dan
ternyata semua maskapai akan meminta surat keterangan dokter jika usia
kehamilan sudah melibihi 28 minggu. Dan akhirnya aku jadwalkan untuk cek
kehamilan sekalian minta surat keterangan ke klinik sebelum berangkat ke Jakarta.
Alhamdulillah si janin sehat
wal’afiat. Tidak ada sesuatu yang musti dikhawatirkan. Bidan pun terlihat ‘wah’
dengan pergerakan janinku yang sangat aktif dan tendangannya yang kuat sekali.
Selesai cek, surat keteranganpun di
tangan.
Detik-detik sebelum keberangkatan
pun kekhawatiran sebenarnya tak henti-hentinya. Suasana hati menjadi tidak
karuan dan doa terus terucap dalam hati. Begituppun suamiku. H-1 sebelum
keberangkatan pun, beliau terlihat tidak seperti biasanya, ada kegundahan yang
luar biasa di sana. Aku coba kuatkan dan yakinkan suamiku, aku coba kuatkan dan
yakinkan diriku dan aku ajarkan untuk selalu kuat, sehat dan ‘jangan lahir
mendadak’ dulu kepada janinku yang selalu bersemangat menendang-nendang
perutku. Aku rutinkan berbicara pada si janin. Aku yakin, janinku mendengarnya…
How nice!!! ^_^ ^_^
Bismillah, tanggal keberangkatan
pun datang. Suamiku sengaja tidak bekerja hari itu supaya bisa mengantarku ke
bandara. Pagi-pagi aku bereskan rumah, mencuci, memasak dan packing beberapa
pakaian. Rencananya cuma 2 hari di Jakarta jika semua urusan lancar. Setelah
mondar-mandir di dapur, aku sempatkan beristirahat sejenak. Tidur pulas agar
tidak terlalu capek dalam perjalanan nantinya. Menunggu zuhur, aku sempatkan
menemaniku suamiku yang langsung menyantap makanan yang baru saja aku masak.
Berusaha seceria mungkin, sesenang mungkin. Selesai zuhur, mandi, beres-beres
dan berangkat beli oleh-oleh untuk si bapak kosan yang sudah aku booking kamarnya selama aku di Jakarta.
Sesampainya di bandara, aku
langsung check in. Di counter check in, aku langsung mengaku
kalau aku sedang hamil dan memberikan surat keterangan dokter. Si petugas
melihat suratku, katanya pihak Lion Air Cuma menerima surat keterangan dokter
yang masa berlakunya cuma 3 hari. Kebetulan surat keteranganku, sudah 4 hari.
Si petugas menyuruhku ke ruangan medis di bandara Sultan Syarif Kasim II. Aku
mengikuti saja apa yang dikatakan petugas, aku berjalan perlahan ke ruangan kesehatan
yang ternyata… TUTUP!!! Di pintunya tertulis “Petugas sedang shalat”. Ya, aku check in di waktu ashar. Aku tunggu 1
menit, 2 menit, dan kemudian aku mondar-mandir di depan ruangan tersebut,
kemudian aku kembali keluar menuju suamiku. Kertas boarding sudah di tangan,
petugas istirahat, aku tidak di kawal ke ruang kesehatan, akhirnya suamiku
menyarankan, langsung saja ke ruang tunggu, tidak usah cek kesehatan lagi. Agak
ragu juga untuk cek kesehatan lagi di bandara, karena aku pernah membaca salah
satu pengalaman ibu hamil, bahwa dia dipersulit untuk terbang dengan pesawat
dalam keadaan kondisi hamil oleh tim medis bandara yang tidak berkompeten di
bidang kehamilan.
Pamit pada suami, dan aku
langkahkan kaki langsung menuju ruang tunggu. Shalat ashar dengan santai, isi
perut dengan sepotong roti agar ga terlalu lapar dan tak terlalu kenyang (biasanya
aku kalau sedang lapar, langsung mual, lemes dan kalau kekenyangan, perut berasa begah dan tegang sekali) dan
menunggu pesawat dengan sedikit “dag dig dug jer”. Kekhawatiranku adalah,
ketika nanti aku dipertanyakan soal kehamilanku, kemudian penerbangan menjadi delay gegara aku yang tidak mengurus
surat keterangan di ruang medis bandara dan pikiran-pikiran negatif lainnya
yang mungkin saja terjadi.
Ternyata oh ternyata, setelah
naik ke pesawat, aku hanya ditanya oleh pramugari, “Ibu sedang hamil? Sudah
berapa bulan? Anak pertama ya bu?”. Pertanyaan ringkas, tapi aku dengan mantap
walau dalam hati sempat risau untuk menjawab jujur. Aku jawab, “ Ya, sedang hamil
6 bulan dan anak pertama”. 6 bulan? Apa? Hm.. dalam hati, aku kan tidak bohong,
6 bulan kan meaningnya bisa banyak. 6
bulan 4 minggu (yang artinya sama saja dengan 7 bulan), mungkin juga 6 bulan 10
minggu. Hehe. Aku tidak berbohong, hanya sedikit bermain kata. Karena aku juga
sempat baca, bahwa kehamilan 7 bulan sangat rentan untuk lahir prematur, dan
juga pernah baca ada ibu hamil yang tidak diizinkan ikut terbang karena pihak
maskapai tidak mau mengambil resiko jikalau nanti terjadi apa-apa terhadap ibu
hamil tersebut. Kemudian, petugas lainnya, datang membawa surat, dan aku di
suruh menanda tangani surat tersebut. Aku tidak tahu persis apa isi suratnya,
tapi sepertinya itu adalah surat keterangan bahwa mereka tidak mau bertanggung
jawab terhadap kehamilanku jika terjadi sesuatu nantinya dalam penerbangan. Aku
tidak diberi salinan suratnya oleh pihak Lion Air.
Penerbangan pun berjalan dengan lancar
dan aman, walau setiap kali naik LION AIR selalu “gruduk-gruduk” di perjalanan.
Ketika take off, janinku
bergerak-gerak aktif sekali. Bergelombang ke sana kemari, tendang sana sini,
aku elus-elus pun tak mau tenang. Aku semakin deg-deg an. Aku coba tenangkan
diriku, dan aku terus membelai lembut janinku sambil berkata dalam hati “
tenang nak.. ummi di sini nak.. tenang.. yang kuat.. yang kuat.. jangan lahir
dulu.. yang kuat.. yang sehat ya nak”.. Berkali-kali aku tarik nafas yang dalam
agar aku tenang. Biasanya, si janin mengikuti alur ibunya, jika si ibu lelah,
janin akan lelah juga, jika ibu kuat, janin juga kuat dan aku menyimpulkan jika
si ibu panik, si janin juga ikutan panik. So, tarik nafas berkali-kali, elus-elus
perut, berdoa, menenangkan diri sendiri dan sang janin. BERES!!! Take off pun berjalan baik.
Di dalam pesawat, si janin entah
memang terlalu bersemangat atau panic, aku tidak tahu, tapi hebooooh banget,
aku susah mengendalikan diri sendiri. Mencoba untuk tidur, tapi penumpang di
sebelahku, berbicara terus, ribut sekali. Aku tidak bisa istirahat. Tenang…
tenang… tenang… minum sedikit air putih cukup membantuku untuk tenang, tapi aku
takut kebelet pipis. Ah rempong.
hahaha.. kepanikan yang luar biasa untuk ditenangkan by myself.
Saat-saat landing pun aku panik lagi. Si janin juga belum berhenti bergerak.
Plus pesawat yang tidak tenang. Bunyi mesin, bunyi suara-suara penumpang lain
yang sibuk dengan obrolan mereka, bunyi “gruduk-gruduk” kayak lagi jalan di
jalan bebatuan. Landing di Jakarta
membuatku panik luar biasa, tapi akhirnya aku putuskan untuk pegang lembut
perut dengan tangan sebelah kiri, dan tangan sebelah kanan memegang kursi di
depan agar tidak terlalu goncang. Ga enaknya naik pesawat Lion Air itu begitu
deh, “gruduk-gruduk” nya ga ilang-ilang…
Tapi sayangnya cuma itu pesawat yang murah. Weleh-weleh.
Alhamdulillah perjalanan menuju
Jakarta selamat, tapi perjuangan belum berakhir. Aku harus menaiki beberapa
transportasi lagi. Damri menuju Gambir dan naik taksi menuju kosan. Setibanya
dikosan, aku sudah berasa sangat kelelahan. Hujan pun terpaksa aku tempuh
daripada mengembangkan payung, dan harus petantang petenteng pegang payung dan
barang bawaan secara bersamaan. Saking lelahnya, aku cukup menyapa bapak kosan
dan sedikit basa-basi saja. Alhamdulillah lagi, kamarnya nyaman. Seperti kamar
hotel, ada TV, AC, kamar mandi di dalam, lemari dan sebuah rak. Kemudian juga
ada fasilitass galon serta kulkas. Dan sepertinya wifinya juga bisa digunakan.
Akan tetapi aku tidak begitu tertarik untuk menggunakan wifinya, karena badan
sudah lelah. Kuputuskan untuk segera shalat dan makan sepotong roti dan
sebatang coklat, minum air. Dan.. Zzzzzz.. tidur. Istirahat.
Hari berikutnya, aku sudah
mengatur janji sebelumnya dengan juniorku untuk transaksi “surat keterangan
dari jurusan sebagai syarat untuk mengambil ijazah. Jam 9 di lobi FKUI. Setelah
shalat subuh aku dirundung oleh rasa lapar yang tak tertahankan. Kuputuskan untuk
keluar kosan di pagi buta sekalian beli perlengkapan MCK. Aku kira minimarket
di gang kosan buka 24 jam, ternyata tidak, jadilah aku berjalan jauh ke dekat
jalan raya Salemba. Alfamart di belakang sevel. Dalam perjalanan tidak
kutemukan sama sekali yang jual makanan, jadi aku berniat untuk membeli stok
yang agak banyak buat sarapan pagi itu. Menjadi seorang ibu dan bahkan menjadi
seorang istri itu bisa merubah seseorang yang pemalas menjadi rajin. Dulu
sewaktu gadis, selapar apapun, kalau sedang tidak mood, aku malas sekali untuk
keluar kosan atau berusaha untuk mendapatkan makanan. Dan sekarang, demi calon
anakku, aku bela-belain jalan pagi dengan jarak yang lumayan tidak dekat dari
kosan untuk memenuhi gizi anakku kelak. Sepulang dari minimarket, ternyata ada
beberapa penjual makanan di tepi jalan yang sudah buka. Ada yang jual bubur
ayam dan ada yang jual nasi uduk. Aku tidak begitu menyukai bubur ayam,
akhirnya aku ikut mengantri di tempat penjual nasi uduk. Lumayan banyak yang
mengantri nasi uduk, si penjual nasi uduk sampai kewalahan melayani setiap
pembeli yang sudah mengantri kelaparan. Sambil menunggu antrian, aku melihat-lihat
makanan yang tersedia, tahu, tempe, telur bulat, telur dadar, mi goreng. Kalap,
ketika tiba giliranku memesan, aku memesan begitu banyak. Telur bulat, tahu dan
tempe. Hihihi…
Sesampai dikosan, aku sarapan
dengan begitu lahapnya ditemani oleh suara sang suami nun jauh di sana. Selesai
sarapan, beres-beres berangkat ke kampus. Agak grogi juga ketika melangkahkan
kaki ke kampus. Terbayang, jika nanti bertemu dengan orang yang kukenal, kemudian
melihat perubahan perutku, hihi antara senang dan canggung dengan perut buncit
ini. Setiap langkah aku nikmati perlahan, karena aku butuh tenaga yang banyak
hari itu. Sesampai di kampus, ketemu dengan junior, sedikit obrolan dan
mulailah petualanganku.
Aku menuju lantai 5 gedung IHVCB,
sesampai di sana, aku tidak langsung menemukan apa yang aku cari, aku sempat
berputar mencari petugas yang bertanggung jawab atas ijazah Mahasiswa S2.
Ketika bertemu dengan si petugas yang lumayan ramah, eng ing eng, ada satu
syarat yang tidak aku tahu sebelumnya. Mereka membutuhkan foto untuk ditempel
di ijazahku. Ukuran foto pun di luar biasanya, 4x4. Tapi jika diminta dalam
ukuran 2x3 atau 3x4 atau 4x6 pun, aku sebenarnya tidak mempunyai stok foto.
Hahay. Akhirnya aku izin cetak foto dulu. Sempat gundah juga ketika otak di
saat hamil mudah lupaan, aku lupa menaruh softcopy fotoku. Aku obok2 harddisk,
email dan handphone. Akhirnya aku bisa menemukannya di laptop. Sempat panik
ketika kabel harddisk tidak bersahabat membuat hardisk susah detect di laptop, internet yang lemot
dan di handphone pun aku tidak temukan satu softcopy
foto close up pun. Ternyata ga
jauh-jauh nyimpennya, foto itu ada di laptop. Ckckck.
Mencari tempat cetak foto
ternyata tidak sesulit yang aku bayangkan. Saat ini semua sudah bisa dilakukan
dengan modal komputer dan printer. Di rental pertama, “ga bisa mbak, di sebelah
bisa”. Di rental kedua, “Ga bisa dek, printernya rusak”. Di rental ketiga, “Ga
bisa mbak, printernya lagi bermasalah”. Galau… Yang aku tahu yang bisa cetak
foto di area kampus Salemba cuma tiga tempat itu. Aku duduk sejenak, minum air.
Aku berusaha serileks mungkin, agar janinku juga tetap tenang. Akhirnya aku
putuskan untuk keluar kampus. Aku ingat saat dikosan lama, diperjalanan menuju
kampus ada satu tempat untuk cetak foto. Kutelusuri jalanan yang tidak terlalu
dekat. Mendaki tanggga shelter transjakarta lagi. Cukup ngos-ngosan bolak-balik
naik tangga dalam keadaan hamil begini. Dalam perjalanan, aku melihat sekitar,
banyak perubahan. Karena saking terkesannya dengan beberapa perubahan tersebut,
aku sampai lupa dimana letak cetak fotonya, dan akhirnya bingung sendiri lagi.
Aku putuskan untuk cetak foto di warnet, siapa tahu bisa. Si penjaga warnet
bilang “ga bisa dek, di sebelah ada tempat cetak foto, ke sebelah aja”.
Ternyata eh ternyata, tempat cetak foto yang semula aku cari letaknya persis di
sebelah warnet. Beuh.
Penguluran waktu tidak hanya
sampai di sana. Di tempat cetak foto, ternnyata si petugas meminta bluetooth foto ke komputernya, dia tidak
menerima pengiriman lewat USB. Dan pengiriman file foto sempat membuat bingung,
karena berkali-kali mencoba mengirim ke komputernya, file foto tidak juga
tampil di layar komputer tersebut. Aku sempat berfikir, kalau seandainya tidak
bisa cetak foto di sini, haruskah aku ke Matraman untuk cetak foto saja? Tak
kehilangan akal, akhirnya si petugas mengusulkan untuk mengirim file foto ke
handphone pribadinya, dan kemudian mencoba transfer foto dari handphonenya ke komputer.
Dan semua selesai. Foto dicetak dengan bagus, tapi untuk stok aku coba bertanya
ke petugasnya apakah bisa cetak foto hitam putih, dan ternyata katanya tintanya
bermasalah jika cetak hitam putih.
Dengan santai aku sudahi
transaksi cetak foto, dan aku beranjak perlahan menuju kampus kembali. Dari
pasar paseban ke kampus, jaraknya lumayan melelahkan untuk seorang ibu hamil
yang harus menjaga sangat hagi-hati kandungannya. Aku putuskan untuk menyeberang
di traffic light saja daripada harus
menaiki tanggga penyeberangan shelter transjakarta UI Salemba. Sesampai di
kampus, kembali lagi menaiki lift ke lantai 5, menemui sang petugas ijazah.
Taraaaaa… ketika beliau menerima fotoku yang berwarna, beliau agak terkejut. “Fotonya
tidak hitam putih? Takutnya nanti dalam jangka kurun waktu yang lama, foto ini
akan luntur warnanya dan menjadi jelek”. Aku pasrah “Nggak apa-apa bu, pakai
foto itu saja, cape nyari tempat cuci foto ke bawah lagi, pada rusak printernya”.
Selesai. Kemudian fotocopy ijazah dan ambil transkrip nilai di lantai 5 pada
gedung lainnya. Naik turun naik turun. Untungnya pakai lift. Ga kebayang kalau harus
naik turun tangga.
Hari masih menunjukkan jam 11.
Perjalanan panjangku kujalani dengan santai tapi pasti. Masih banyak waktu yang
tersisa. Aku putuskan untuk berangkat ke Depok untuk legalisir ijazah dan
transkrip. Agar perjaalnan terasa nyaman, aku memilih naik taksi ke manggarai.
Sesampai di manggarai, langsung menuju jalur 6 untuk menunggu kereta menuju
Pondok cina. Untungnya aku masih punya kartu commuter line, jadi tidak perlu mengantri untuk beli tiket kereta. Tubuh
memang tidak terasa terlalu lelah. Jadi, tidak bermaksud berharap dapat tempat
duduk selama perjalanan. Dan sepertinya semua orang juga tidak begitu ‘ngeh’
kalau aku sedang hamil. Perutku yang tidak terlalu besar, keadaan manusia yang
lelah dan berharap tempat duduk, aku biarkan saja. Aku menikmati perjalanan
dengan berdiri di dekat pintu masuk kereta. Aku menghadap ke pintu agar perutku
terlindungi dari senggolan-senggolan mendadak dari penumpang. Biasanya
penumpang kereta suka grasak grusuk ga jelas.
Cukup lelah juga kaki menopang
tubuh yang mulai berat. Dari manggarai sampai pondok cina, aku berdiri dan
selalu berusaha tenang. Setibanya di pondok cina, aku masih harus berjalan kaki
menuju gedung rektorat. Dan sempat salah masuk gedung. Gedung Pelayanan
Mahasiswa Terpadu, terletak di samping gedung rektorat. Tepat saat aku sampai
di loket pengurusan legalisir, label ‘istirahat’ di pasang oleh pegawai di sana.
Tidak begitu kecewa juga sih, karena aku ingin perjalanan yang santai saja.
Jika tak selesai hari ini, masih ada hari esok. Aku lepaskan lelah dengan duduk
di bangku sofa yang lumayan empuk. Leganyaaaa, sambil santai-santai aku
ditemani oleh suara sang suami nun jauh di sana. Rindu? Iya.. aku sempat
merindukan beliau walau baru beberapa hari berpisah. Hahay.
Istirahat pegawai tidak begitu
lama. Waktu berlalu seolah menyelamatkanku dari rasa panik, bosan atau perasaan
tidak nyaman lainnya. Dan pengurusan legalisir pun lancar jaya tidak ada
kerumitan sama sekali. Aku minta tolong kepada pegawai di sana untuk
mengirimkan hasil legalisir ijazah dan transkrip nilaiku ke Pekanbaru. Mereka
bersedia dan semua beres. Alhamdulillah, semua tujuanku datang ke Jakarta dalam
keadaan hamil tercapai sudah. Selama menunggu pegawai istirahat, aku sempat searching tiket pulang, dan meminta
pendapat suami. Jika semua sudah selesai hari ini, besok aku langsung pulang
lagi ke Pekanbaru. Tiket pun sudah dibeli. Sekarang saatnya aku memanjakan jiwa
dan raga. Aku kembali berjalan kaki dari gedung tersebut menuju Mesjid UI,
shalat zuhur dan untungnya di sebelah masjid ada kafe, selesai shalat aku
langsung saja memesan makan siang.
Kalau diingat-ingat perjalananku
ribet ya? Bolak balik sana sini, tapi yang aku rasakan semua seolah bekerja
sama untuk mudah aku lakukan, aku tidak merasa begitu sulit dan rempong dalam
mengurus semuanya. Semua berasa dimudahkan oleh Sang Khalik. Dan sikap tetap
tenang ternyata juga dapat membantu melancarkan semua proses perjalanan hari
itu. Alhamdulillah.
Kembali ke kosan dengan santai, Alhamdulillah
lagi di commuter line aku mendapatkan tempat duduk
sampai manggarai. Dari manggarai ke kosan, aku naik bajaj, karena jarang
sekali terlihat taksi. Sempat was-was binti khawatir ketika naik bajaj saat
itu. Jalan menuju kosan banyak tanggulnya dan ketika bajaj berusaha melewati
tanggul tersebut, aku harus memegang perut dan menahan badan agar tidak begitu
terhenyak karena bajaj yang terguncang.
Penantian waktu hingga esok hari
terasa begitu lama. Aku mengambil tiket pulang penerbangan jam setengah 7 malam
kalau tidak salah. Siang aku check out dari kosan, Singgah ke kampus
sebentar (masih melewati jembatan penyeberangan shelter transjakarta) untuk
membayar biaya legalisir, balik lagi naik jembatan penyeberangan, kemudian makan
mie ayam favorit di depan kampus dan bungkus bawa pulang buat suami, terakhir
naik taksi menuju Gambir. Dari Gambir naik Damri menuju bandara. Sesampai di
bandara, check in. Dan perlakuan yang
sama aku dapatkan. Mereka dari pihak Sriwijaya Air, tidak menerima surat
keterangan ‘save flight’ yang aku punya yang sudah lewat dari tiga hari. Petugas check in meminta rekannya untuk
menemaniku periksa ke dokter di bandara. Aku pernah baca sebuah artikel, bahwa
ibu hamil itu gampang lupaan. Benar saja, setelah check in, aku melupakan handphone
ku yang aku gunakan untuk memperlihatkan bukti pembelian tiketku. Untung saja
petugasnya baik, kalau tidak, aku bakal panik kehilangan handphone. Hehe.
Di bagian pemeriksaan kesehatan,
aku hanya ditanya usia kehamilan, cek tensi darah dan dikenakan biaya
administrasi senilai Rp 50.000,-. Selesai. Penantian berasa semakin lama karena
aku datang sangat awal dan penerbanganku delay.
Aku sempatkan shalat magribh di ruang tunggu. Membosankan penantian di bandara.
Tidak bisa tidur, bisanya juga cuma ngemil doing, tapi di dalam penantianku,
aku menemukan sesosok manusia yang sempat menjadi rekan kerjaku di Bukittinggi.
Tak bisa bertegur sapa, karena jaraknya begitu jauh. Kangen juga kumpul-kumpul
dan bercanda dengan mereka-mereka yang unik dan bersemangat. PQK Bukittinggi
yang menyatukan kita. J
Sesampainya di Pekanbaru, aku
menunggu barang bawaan bagasiku, sementara sang suami sudah menungguku di luar
ruangan. Ah rindunya. Berasa ingin kupeluk sosok yang ‘besar’ itu. Hoho. Sang
suami tahu kalau aku belum makan malam, beliau pun mengajakku makan di sebuah
rumah makan. Tapi, lauknya sudah hampir habis semua. Jadilah kita cuma makan
dengan gulai telur bulat.. hehe.. Alhamdulillah tetap nikmat, karena aku
ditemani oleh si pujaan hati.
Perjalanan yang tidak terduga
akan sukses jaya seperti itu, Alhamdulillah selamat pulang pergi. Si janin pun
sangat bersahabat sekali ketika di ajak ‘anteng’ dalam setiap perjalanan jauh.
Allahu Akbar. Semua pasti atas kehendakNya. Semua berjalan lancar hanya atas
izinNya.. Terima Kasih Yaa Rabb… ^_^ ^_^
*Akhirnya selesai juga tulisan
ini setelah sekian lama menjadi draft di laptop. :p