Monday 28 October 2019

Teplek

Nyamannya si teplek itu adalah:
1. Aku tetap dengan tinggiku yang asli, jadi tidak akan dibilang 'jangkung'
2. Aku tidak akan keseleo kaki, tidak akan pernah mengalami yang namanya 'heels yang patah', tidak akan pegel kaki, tidak akan kesulitan dalam berjalan di Medan yang seperti apapun...
3. Harga lebih murah tentunya dong... Hehehe...

Terlepas dari keuntungan tersebut, ternyata si teplek itu tidak melulu membuatku bahagia. Mereka juga membuatku harus menahan malu, tingkat PD yang harus lebih tinggi, dan sering bolak-balik nyari pengganti.

Beberapa kejadian yang sering menerpa aku dan si teplekku...

Kala itu...
(Hihi mulai lebay bahasanya...)

Semasa kuliah di Jurusan Biologi, kalau ke kampus dan lagi ga ada kuliah, acara kumpul2 atau keperluan lainnya, biasanya dari kost-an pakai sandal teplek doang. Bolak-balik jurusan dan plaza, kafe dan sekitaran kawasan Biologi. Mondar-mandir. Dan naas-lah ketika sampai di fotocopy. Nyawa sandal teplek sudah setengah karat... Beliau menganga seperti buaya lapar. Padahal urusan belum kelar. Apa yang aku lakukan? Aku pede aja dong, malah minta staples yang di fotocopy itu... Iya stapler yang gede itu lho... Sekeliling sandal aku stapler... 😅

Sering tuh waktu kuliah begitu. Menganga lapar dengan indahnya. Udah beli lagi yang baru - masih teplek dong, secara aku ndak mau dibilang jangkung - eh begitu lagi. Ada yang kasusnya tali depan untuk ngejepit,yang berada di antara jempol dan telunjuk kaki, putus di tengah jalan. Alhasil, selama dalam perjalanan terpaksa jalannya 'nyeret'.

Sandal teplek itu ya begitu. Namanya juga teplek, berarti ya dia tipis. Dipakai lama ga tahan. Aus-nya cepat sekali.

Waktu kuliah di Salemba yang lebih parah. Ga kapok-kapok beli teplek-an... Sepatu untuk kuliah (coba aku hitung dulu... Ada sekitar 5 atau lebih sepatu teplek), dan nasibnya sama! Itu sepatu dibawa kemana-mana. Ga peduli Medan perjalanannya seperti apa. Mau ke kelas, mau ke lapangan, mau ke Mall, ya hayuk aja. Mau keadaan panas, mau hujan, ya lanjut terus, diajak jalan santai, berlari, hantam terus. Alhasil, hampir semua sepatu teplek-ku mengalami ke AUS an... Tipis, atau lem-nya lepas. Bawahnya tembus ke jalan. Atau belakangnya lepas lem-nya. Jadinya aku jalannya pelaaaaan, pelaaaaan. Pede aja tuh diliatin orang sekitar (ya emang aku orangnya tipikal ndak suka ambil pusing sih apa yang dilakukan orang terhadap indera mereka masing-masing, hehe). Dan kadang harus berhenti berjalan, demi memperbaiki posisi sepatu agar masih bisa dipaksa bekerja sampai tujuan.

Cerita ini ter'inspirasi' dari kisah aku pergi kondangan beberapa hari yang lewat. Untungnya situasi sedang sepi, jadi suamiku ga malu-malu amat lihat kondisi sepatu parah abis..  😆

Senin, yang kebanyakan orang memilih untuk resepsi pernikahan di hari Minggu, dan sekarang beliau tertarik pada hari Senin...

Suamiku tetap jualan hari itu, dan beliau menjanjikan kita akan pergi kondangan sekitaran jam 3 atau 4 sore. Alhamdulillah jadwal ini yang beliau pilih, karena ternyata sesampainya kami di sana, sedang sepi, tidak begitu ramai.

Aku bingung kalau musti ke acara-acara 'formal' yang menuntutku harus berbentuk 'feminim'. Sepatuku yang sporty masih ada beberapa, tapi tidak mungkin pergi ke walimahan musti pakai sepatu begituan. Sementara, sepatu yang selalu aku pakai untuk 'adegan feminim' ini, kasusnya sudah mengalami ke AUS an di bagian jempol. Jadi kalau masih tetap dipaksakan untuk digunakan, akan berakibat, kaos kakiku akan basah kuyup jika tiba-tiba hujan turun dan membasahi jalanan.

Akhirnya diputuskan untuk menggunakan sepatu nikah. Hayo tebak, sepatu nikahan aku teplek atau Ndak? Ya so pasti teplek lah... 😁

Dan untung lho, waktu nikahan aku pilihnya sepatu teplek, karena waktu nikahan, ada acara yang namanya 'manjapuik marapulai', itu aku harus bersunting ria (berat saudara-saudari, aku pakai Suntiang Minang yang asli-nya bukan yang modern ala-ala) dan berjalan di kampung yang jalannya terjal turun dan mendaki. Hosh, untung sudah terlatih wara Wiri ke sana kemari dengan kerempongan Medan lapangan.. 😁

Nah, jadi sepatu nikahan itu aku beli dua pasang dulunya.. sekarang sudah sekitar 4 tahun yang lalu aku menikah. Satu pasang sepatu sudah aku buang, karena sudah lepas lem-nya. Ndak layak pakai sama sekali.

Sepatu yang sepasang lagi, jarang dipakai, aku lihat kondisinya masih bisa dipakai. Aku pakai lah, karena ndak ada pilihan sepatu yang lain.

Sesampainya di tempat resepsi, untungnya pada sepi, dan sanak keluarga sendiri, mau duduk di tempat duduk untuk segera makan, sepatuku lem-nya lepas... Bagian belakang... Allahu Rabbi...

Aku bilang sama suami... Suami cengo'... Ga tau harus musti ngapain. Warung juga entah dimana (ada ide mau beli sandal jepit). Kemudian, aku korbankan pin kesayangan untuk menahan sementara sepatu yang lepas lem-nya.

Ketika mau salaman dengan pengantin, naik tangga, dan kepala pin-nya lepas... 😱
Terpaksa suami bantu gendong Zahra, dan aku berusaha santai.

Selesai salaman, foto-foto, turun tangga, dan sepatu ndak bisa terselamatkan lagi, lepas sampai depan... 😆

Akhirnya aku pulang menuju parkiran mobil dengan kaki sebelah kanan tanpa sepatu (sepatunya aku jinjing) 🤣

Sesuatu banget ya...

Ya begitulah. Inilah hidup. Tidak ada yang benar-benar kamu suka itu akan baik bagimu. Pun sebaliknya.


Jadi, besok mau beli sepatu baru, tetap pilih teplek?


Oh, tetap doooong... 😝